TRIBUNNEWS.COM - Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai sempat digaungkan sebagai regulasi revolusioner untuk mengatasi permasalahan sampah yang tak ada habisnya di Pulau Dewata. Pergub Nomor 97 Tahun 2018 tersebut secara spesifik melarang produsen, distributor dan pelaku usaha untuk memproduksi, mendistribusikan dan menyediakan kantong plastik, styrofoam dan sedotan plastik untuk mengurangi sampah plastik dan mencegah kerusakan lingkungan.
Sayangnya, realitas lapangan berkata lain, larangan plastik sekali pakai yang diberlakukan per 1 Juli 2019 ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Melansir Mongabay Indonesia, dua tahun pasca Pergub tersebut dirilis, Bali masih menghasilkan sekitar 4.281 ton sampah per hari atau 1,5 juta ton tiap tahun. Sekitar 829 ton atau 20 persennya adalah sampah plastik. Padahal menurut Direktur Eksekutif Daerah Walhi Bali I Made Juli Untung Pratama masyarakat Bali sejatinya sudah memiliki kesadaran dalam memilah sampah. “Kalau di Bali masyarakat sebenarnya sudah sadar, tapi masyarakat lelah karena dia disuruh milah sampah organik dan non organik, tapi nanti pas diambil dimasukkan lagi di tempat yang sama kan percuma juga mereka memilah sampah,” jelas Untung saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (25/1/2022).
Menurut Untung, belum optimalnya pengelolaan sampah terutama sampah plastik di Bali berkaitan dengan ketidakkonsistenan Pemerintah Provinsi Bali dalam menerapkan peraturan yang telah dibuat. Di antaranya, Perda Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Sampah di mana pada pasal 14 ayat 1 tertuang, “Setiap badan usaha wajib melakukan pemanfaatan kembali sampah yang dihasilkan dengan cara menarik kembali sampah dari produksi dan/atau kemasan yang dihasilkannya.”
“Masyarakat harus melakukan pengelolaan sampah secara terpadu, tapi untuk perusahaan-perusahaan dengan produk berbahan plastik dibiarkan bebas untuk memproduksi sampah plastik sebanyak-banyaknya tanpa dibebani pertanggungjawaban untuk menarik kembali sampah yang dihasilkan,” ujarnya. Untuk itu, tambah Untung, semestinya perusahaan-perusahaan dengan produk berbahan plastik seperti produk air minum dalam kemasan botol maupun gelas plastik semestinya bertanggung jawab untuk menarik kembali sampah yang dihasilkan.
Terlebih, laporan lingkungan yang dilakukan Sungai Watch–sebuah lembaga nirlaba lingkungan berbasis di Bali–menyebutkan bahwa umumnya bentuk sampah yang mengotori sungai-sungai di Bali merupakan sampah korporasi, terutama yang berupa botol plastik, sedotan, kantong kresek, kemasan saset, gelas plastik, ban, sendal, kertas dan kardus, styrofoam, dan plastik keras jenis HDPE (High-density polyethylene). Dari semua jenis sampah plastik tersebut, sampah gelas plastik menjadi salah satu polusi plastik paling buruk.
Get Plastic, perkumpulan berbagai lembaga nirlaba yang memiliki misi mengajak masyarakat Bali agar lebih peduli pada sampah plastik yang mereka hasilkan. Salah satu pendiri Get Plastic di Bali, Dimas Bagus Wijanarko, mengatakan Get Plastic telah secara giat mengedukasi masyarakat terkait kegiatan pengolahan sampah berprinsip ekonomi sirkular, agar dapat berdampak besar secara ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya. “Sampah plastik bisa diolah dengan prinsip ekonomi sirkular dengan peran dari masyarakat yang mengumpulkan sampah plastik lalu peran pihak lain, seperti NGO untuk mengolahnya menjadi produk yang bisa digunakan berulang-ulang, seperti bahan bakar,” tambah Dimas.
Namun sayangnya apa yang dilakukan oleh NGO seperti Get Plastik belum bisa mengatasi sampah plastik yang kian menumpuk. Laporan Sungai Watch juga mencatat ada 400 merek sampah korporasi dari 5.117 gelas plastik yang diaudit. Salah satu pencemar gelas plastik terbesar adalah merek dari multinasional ternama dengan total 2.834 sampah plastik.
Maka dari itu, Walhi Bali sebagai organisasi yang berfokus untuk mengkritisi kebijakan yang berdampak kepada lingkungan hidup di Bali pun terus berperan aktif dan mengawal pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang juga berkaitan dengan pengelolaan sampah, termasuk meninjau kembali penerapan Pergub Bali No.97/2018. “Penerapan peraturan kita kawal juga dan dalam pertemuan-pertemuan juga selalu kita sampaikan kepada Pemprov bahwa kita punya peraturan ini buat memerintahkan perusahaan mengambil kembali sampah plastik, tapi hingga sampai saat ini belum ada aturan turunannya,” jelas Untung.
Meninjau kembali penerapan regulasi penanganan timbulan sampah plastik mungkin bisa jadi langkah awal untuk mengoptimalkan masalah sampah di Bali. Diperlukan kolaborasi multipihak, termasuk pemerintah, masyarakat, terlebih pihak perusahaan terkait. Walhi Bali berharap agar seluruh pihak, terutama pemerintah, dapat konsisten menerapkan peraturan-peraturan serta menerbitkan aturan lebih lanjut mengenai pengelolaan sampah di tataran pelaku usaha.
“Kita punya Perda tentang pengelolaan sampah dan di Perda itu telah diatur bahwa produsen yang menghasilkan sampah plastik wajib menarik kembali sampah yang dihasilkan itu harus dilakukan karena permasalahannya aturan ini tidak bisa dilakukan karena butuh aturan lebih lanjut seperti Pergub,” tutup Untung. Walhi Bali meminta agar Pemprov memperketat Pergub untuk bisa memerintah perusahaan-perusahaan yang menghasilkan sampah plastik menarik kembali sampah yang telah dihasilkan.
Penerapan Pergub yang lebih ketat diharapkan dapat jadi landasan agar produsen, distributor, maupun pelaku usaha untuk tidak sembarangan memproduksi plastik sekali pakai. Dengan begitu, berbagai misi pengolahan sampah atau edukasi pengolahan sampah skala kecil dapat berjalan beriringan dan tak berakhir dari jargon semata.
Sumber:
https://www.tribunnews.com/regional/2022/01/29/bali-hasilkan-800-ton-sampah-plastik-per-hari-walhi-penerapan-perda-belum-konsisten?page=3