Jakarta - Pada perhelatan One Ocean Summit 2022 yang digelar 9-11 Februari 2022 lalu, Jokowi menyampaikan pidato yang membahas soal komitmen pengurangan sampah laut sebesar 70 persen pada 2025 dan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) sebesar 10 MW dengan memanfaatkan 1.000 ton sampah per hari. Komitmen pengurangan sampah laut tersebut telah dinyatakan sejak tahun 2018 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2018. Sementara proyek PLTSa yang menuai berbagai kritik dari aspek lingkungan, kesehatan dan finansial menjadi salah satu rencana aksi dalam Perpres tersebut.
Komitmen pengurangan sampah laut pada 2025 sebesar 70 persen terkesan sangat ambisius. Hal tersebut sama ambisiusnya dengan komitmen pengurangan sampah 30 persen dan penanganan sampah 70 persen pada 2025 berdasarkan Perpres 97 Tahun 2017. Melihat data bahwa sampah di lautan kita yang pada tahun 2020 mencapai 521 ribu ton sebagian besar berasal dari sampah yang tidak terkelola di daratan dan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Maka mustahil mencapai target pengurangan sampah laut kalau target pengurangan sampah di kawasan daratan dan DAS masih “jauh panggang dari api” atau antara target dan realisasi masih sangat timpang.
Data SIPSN (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional) pada tahun 2020 memperlihatkan kinerja pengurangan sampah berada pada angka 16,19 persen atau 5,7 juta ton sampah. Sementara pada tahun 2021 angka pengurangan sampah secara nasional justru turun signifikan menjadi 14,16 persen atau 3,2 juta ton sampah. Data tersebut hanya dilihat dari sekitar 202 kabupaten/kota atau hanya sekitar 39 persen dari total kabupaten/kota di Indonesia. Perlu usaha dua kali lipat pada sisa empat tahun mendatang guna memenuhi ambisi pengurangan dan penanganan sampah pada tahun 2025.
Kritik Paradigma Penanganan Sampah di Hilir
Undang-Undang 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan dua substansi pengelolaan sampah yaitu pengurangan dari sumber (pendekatan hulu) dan penanganan sampah (pendekatan hilir). Sayangnya, paradigma pengelolaan sampah dari peraturan hingga kebijakan masih berfokus pada penanganan di hilir seperti proyek PLTSa, pemanfaatan sampah menjadi BBM, RDF (Refused Derived Fuel) dan lainnya. Sementara pendekatan pengelolaan sampah dari hulu untuk mengurangi sampah terutama plastik melalui peraturan pelarangan plastik sekali pakai, pemberian disinsentif kepada produsen (ritel, manufaktur, jasa makanan minuman) hingga pengurangan produksi plastik di industri petrokimia masih sangat tidak maksimal.
Kebijakan pengurangan sampah di sumber dapat mengurangi timbulan sampah dan sekaligus mengurangi sampah tercemar ke lautan. Pengurangan sampah, terutama plastik sekali pakai melalui peraturan kepala daerah (perkada) yang saat ini telah diterapkan di 73 daerah (provinsi, kabupaten dan kotamadya) perlu didorong agar semakin banyak diadopsi. Sementara pelarangan atau pembatasan yang sudah berjalan perlu dilakukan monitoring dan evaluating. Sedangkan peta jalan pengurangan sampah oleh produsen yang berjalan berdasar Permen LHK Nomor 75/2019 perlu dibuka transparansinya kepada publik. Agar rendahnya komitmen pengurangan yang dilakukan pemerintah tidak berjalan beriringan dengan rendahnya keterbukaan informasi.
Kelola Sampah, Kurangi Emisi, dan Hentikan Solusi Semu
Pada momentum Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2022, WALHI mendesak berbagai solusi semu pengelolaan sampah seperti pembangunan PLTSa di 12 Kota dan proyek pembakaran sampah dengan incinerator hingga co-firingsampah dengan batubara di PLTU dihentikan. Ambisi memusnahkan sampah dengan klaim menggunakan teknologi tinggi belum menjawab permasalahan mendasar problematika persampahan kita. Proyek-proyek tersebut tinggi investasi, tinggi emisi, dan berpotensi membebani keuangan serta berisiko pada kesehatan dan lingkungan sehingga tak layak dilanjutkan.
Komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi di sektor limbah dan sampah dalam Nationally Determined Contribution(NDC) dan Global Methane Pledge di COP26 dapat dilakukan dengan pengelolaan sampah yang berorientasi pada pengurangan dari sumber seperti yang dilakukan masyarakat misalnya melalui Zero Waste Cities dan oleh sebagian pemerintah daerah melalui perkada pelarangan atau pembatasan plastik sekali pakai. Sementara tekanan mendorong perluasan tanggung jawab produsen oleh perlu diperkuat.
WALHI menilai ambisi target pengurangan sampah laut, pengurangan timbunan sampah hingga pengurangan emisi dari sektor limbah dan sampah hanya akan menjadi pepesan kosong jika pengelolaan sampah melalui pengurangan sampah di hulu tak dilakukan dan solusi-solusi semu tak dihentikan.
WALHI juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk menegakkan hukum dengan cara memberikan sanksi tegas kepada para pelaku pencemaran laut, baik dengan sampah cair maupun padat. Jika Pemerintah memiliki komitmen serius untuk menjadikan laut Indonesia sebagai laut yang sehat dan menajdi warisan yang berharga untuk generasi yang akan datang, laut Indonesia tidak boleh dijadikan tong sampah raksasa.
Narahubung:
Abdul Ghofar - Pengkampanye Urban Berkeadilan WALHI
0821-1200-1871 - ghofar[at]walhi.or.id